Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal | Biasa Membaca -->

Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal

 Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal
 Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal
Feodalisme di Indonesia hanya dalam bentuk ikatan darah (kekerabatan) saja antara raja dengan para bangsawan. Ikatan seperti itu memberikan kebutuhan sosial manusia bagi golongan masyarakat tertentu. Misalnya seperti perlindungan, pengakuan, kehormatan dan sebagainya. Bentuk dan munculnya feodalisme merupakan kelanjutan dari bentuk ikatan klan besar (marga). Pada masyarakat feodal, ikatan tradisional (wilayah, aktivitas hidup dll.) mulai kehilangan kewibawaan dan kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada anggotanya. Periode feodalisme merupakan periode perubahan dari ikatan budak dan hamba sahaya dengan tuannya menjadi ikatan buruh tani dengan tuan tanah.

A. Feodalisme di Eropa

Sistem feodal pada masyarakat Eropa awalnya merupakan sebutan untuk menggambarkan struktur sosial-politik-ekonomi yang berlaku di masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Masyarakat feodal pada dasarnya ditandai dengan luasnya lahan pertanian yang dikuasai oleh tuan tanah atau bangsawan. Lahan pertanian dikerjakan oleh buruh tani atau bahkan budak belian yang disebut vassal. Vassal mengabdi kepada pemilik lahan sebagai balas jasa atas pelindungan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila seorang vassal meninggal, maka lahan pertanian kembali kepada pemiliknya (tuan tanah atau bangsawan). Lahan pertanian dapat juga dikerjakan oleh vassal-vassal baru, yaitu anak laki-laki tertua dari vassal yang telah meninggal. Pemilik lahan pertanian di daerahnya dianggap sebagai raja kecil yang memiliki kekuasaan secara otonomi.

Ciri-ciri masyarakat feodal (feodalisme) di Eropa, antara lain :

1) Adanya sistem politik-ekonomi pertanian yang bersifat sempit. Terbatas pada daerah yang dikuasai oleh tuan tanah atau bangsawan;
2) Semua lahan pertanian pada hakikatnya adalah milik raja, bangsawan, dan bangsawan di bawahnya secara hiraki;
3) Kaum bangsawan yang tertinggi mendapat lahan secara langsung dari raja, kemudian lahan diserahkan pada bangsawan yang berada di bawahnya, hak ini terus berkesinambungan secara hirarki sampai pada bangsawan terendah yang hanya memiliki lahan yang sempit.

Penguasaan atas lahan oleh bangsawan, pada dasarnya hanya sebagai pinjaman dari raja yang diperoleh pada saat upacara pemberian kekuasaan atas lahan tersebut. Hal ini sebagai imbalan dan penghargaan atas jasa-jasa terhadap raja. Tanah pinjaman ini disebut feudum, dari istilah inilah muncul sebutan feodal. Dalam perkembangan selanjutnya bangsawan tidak hanya memberikan pinjaman lahan saja, melainkan pangkat dan kedudukan dipinjamkan kepada bangsawan-bangsawan lain, bahkan kepada bangsawan yang kedudukannya lebih rendah. Lama-kelamaan hak pinjaman lahan bertambah dengan pinjaman pangkat atau kedudukan, akhirnya dilakukan secara turun temurun. Akibatnya hak-hak istimewa raja yang diberikan kepada bangsawan (terutama pemerintahan) diperlakukan sebagai hak pribadi. Kekuasaan atas suatu pinjaman ini akan selalu berputar untuk dipinjamkan, digadaikan, atau dijual.

Kehidupan masyarakat pada abad pertengahan banyak dipengaruhi oleh kaum bangsawan sebagai tuan tanah (feodalisme) dan gereja. Kehidupan gereja didukung pula olehluasnya lahan secara hirarki terhadap gereja-gereja yang lebih rendah. Sistem ini hampir sama seperti sistem feodal, karena kehidupan masyarakat di Eropa saat itu adalah mengabdi pada tuan tanah dan agama.

Sistem feodal ini tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Eropa setelah pecahnya kerajaan Romawi oleh serbuan bangsa Jerman. Pada mulanya sistem feodal dipaksakan oleh Raja William I pada tahun 1066, kemudian berkembang di Perancis, akhirnya terus berkembang ke berbagai negara di Eropa yang mengenal sistem tuan tanah.

Jaman Feodalisme di Eropa merupakan bagian dari sejarah umat manusia yang panjang, karena di Eropa sendiri feodalisme berlangsung lebih dari 1000 tahun. Kemudian berangsur-angsur lenyap pada abad XIX, terutama setelah bangkitnya sistem monarkhi parlementer, yang mengurangi dan sekaligus menghancurkan hak-hak raja yang absolut. Hancurnya feodalisme di Perancis tahun 1789 pada saat terjadi Revolusi Perancis. Di Jepang feodalisme hancur pada abad XIX di saat retorasi Meiji dengan dihapuskannya sistem pemerintahan Shogun. Di Rusia feodalisme berakhir oleh revolusi Oktober tahun 1917.

Baca Juga : Stratifikasi Sosial Masyarakat Petani Menetap

B. Feodalisme di Indonesia

Feodalisme di Indonesia tidak sama dengan feodalisme yang terjadi di Eropa, karena feodalisme yang berkembang di Eropa tidak pernah terjadi di Indonesia. Terutama karena konsep feudum yaitu penguasaan lahan secara besar-besaran oleh kaum bangsawan. Kalaupun ada feodalisme di Indonesia hanyalah terbatas pada perilaku manusia sebagai warisan sistem sosial-politik lama dan akibat penjajahan Belanda di masa lalu.

Istilah Feodalisme di Indonesia dihubungkan dengan pandangan yang kolot, sebagai kelanjutan dari tata-cara bangsawan keraton. Dalam hal ini Furnivall memandang hubungan antara para raja Jawa dengan para bangsawannya di masa kerajaan Mataram, sebagai pseudo-feodalisme atau feodalisme semu. Hubungan di antara mereka bukan atas dasar hubungan penguasaan lahan, melainkan atas dasar hubungan darah (kekerabatan). Kekuasaan para bangsawan dilihat dari banyaknya pengikut dari kalangan rakyat yang diikat dengan konsepsi manunggaling kawula gusti yaitu bersatunya tuan dengan hamba, atau bawahan dengan atasan. Konsekuensinya kehendak gusti sebagai orang yang dipertuan harus dijalankan. Hubungan kawula-gusti semakin jauh dengan datangnya Belanda ke Indonesia. Penjajah Belanda banyak turut campur masalah keraton. Kemudian membuat stratifikasi sosial seluruh kehidupan di Indonesia.

Menurut Soeyatno feodalisme di Indonesia, terutama di Jawa memiliki beberapa stratifikasi sosial, yaitu :
1) Santono Dalem, mereka ini adalah keluarga raja, seperti pangeran, bangsawan yang digolongkan sebagai kelas penguasa;
2) Abdi Dalem, yaitu para pegawai kerajaan;
3) Kawula Dalem, yaitu rakyat.

Ketiga struktur sosial feodal tersebut berlaku di Surakarta pada saat sebelum kemerdekaan, bahkan telah ada sejak jaman kerajaan Mataram. Koentjaraningrat membagi dua kelas sosial di Jawa secara umum, khususnya di Jawa Tengah, yaitu,
1) Priyayi, yang terdiri dari priyayi gede (santono dalem) dan priyayi (abdi dalem);
2) Wong cilik (kawula dalem).

"Priyayi" muncul pada jaman penjajahan Belanda sebagai sebutan terhadap terhadap kaum bangsawan atau pegawai pemerintahan Hindia-Belanda yang telah memperoleh pendidikan untuk mengabdi atau menjadi pegawai. Istilah priyayi sebenarnya berasal dari kata para-yayi yang artinya adik-adik raja, tetapi perkembangannya mengalami perubahan sesuai dengan stratifikasi sosial yang berlaku saat itu.

Geertz (dalam Soeyatno) membagi masyarakat Jawa secara trikotomi : santri - abangan - priyayi kemudian menjadikannya menjadi empat kelas sosial, yaitu,
a. Priyayi Santri, yaitu pengawai kerajaan yang mengurus masalah keagamaan;
b. Priyai abangan, pegawai kerajaan yang mengurus masalah lain di luar masalah keagamaan;
c. Wong cilik santri, mereka yang belajar di pondok-pondok pesantren di bawah ulama/kiai;
d. Wong cilik abangan, secara umum terdapat di desa sebagai pegawai kelurahan atau pegawai rendahan di kota. Mereka dapat pula tidak bekerja sebagai pegawai tetapi bekerja di bidang lain.

Priyayi Santri yaitu pegawai kerajaan yang mengurus masalah keagamaan. Mereka adalah pengulon atau abdi dalem pemetakan yang terdiri dari pengulu (bergelar Raden Tumenggung), Katib, Ngulomodamel, Jaksa Ngulomomiji, Muazin, Mudarin, Kebayan, Syarif, dan Marbot. Kelompok sosial agama yang dapat di masukan ke dalam abdi dalem pametakan adalah abdi dalem suronotan, mereka memiliki fungsi mengurus mesjid Suronoto dan Mesjid Besar. Abdi dalem pengulon mempunyai fungsi mengurus perkawinan dan warisan antara priyayi dalem dan priyatun jawi.

Feodalisme pengaruhnya berangsur-angsur menurun setelah banyaknya bangsa Indonesia yang berpendidikan. Mereka tidak lagi menginginkan adanya sistem kekuasaan secara tradisional yang turun temurun, melainkan secara rasional berdasarkan kemampuan, kecakapan dan keterampilan memimpin. Hal ini, dimulai sejak politik etika yang diberikan pemerintah kolonial Hindia-Belanda kepada bangsa Indonesia. Pada mulanya putra-putri kaum priyayi berkedudukan tinggi saja diperbolehkan untuk menikmati pendidikan yang diselenggarakan khusus untuk orang Belanda. Tetapi lama-kelamaan muncul kesadaran pentingnya pendidikan dari kalangan non-priyayi yang memiliki ikatan kerabat dengan para bupati atau priyayi-priyayi yang lain. Mereka banyak menitipkan putra-putrinya untuk bersekolah, agar kepandaiannya dapat dimanfaatkan untuk menjadi priyayi atau dapat menaikan status orang tuanya di mata masyarakat. Kemudian bermunculan sekolah-sekolah untuk bangsa Indonesia yang diselenggarakan oleh mereka yang telah sadar akan pentingnya pendidikan untuk meraih kemerdekaan, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan. Banyak di antara mereka yang menjadi tokoh-tokoh nasional dan kemudian menjadi pemikir-pemikir kemerdekaan Indonesia.

Merupakan Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa keturunan bangsawan yang terpelajar pada masa itu banyak yang turut dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda yang ingin menjajah kembali, karena mereka sadar akan nasib bangsanya. Mereka juga meninggalkan bentuk kehidupan feodal, dengan meleburkan diri untuk mencapai tujuan bersama yaitu Indonesia Merdeka. Walaupun demikian di antara mereka adapula yang membantu Belanda dan mendukung feodalisme, karena ingin mempertahankannya dan takut kehilangan kedudukan yang dianggap dapat membahagiakan.

Perkembangan feodalisme di Jawa berbeda dengan perkembangan feodalisme di daerah-daerah lain, karena nilai-nilai yang dianutnya berlainan. Misalnya, perkembangan feodalisme di Aceh pada hakekatnya sama dengan feodalisme di Jawa. Adapun perbedaannya berdasarkan dari dukungan ulama. Di Jawa priyayi sering meminta nasihat dan mendapat dukungan ulama, sedangkan di Aceh para uleebalang selalu bertentangan dengan ulama.

Berikut ini, Soeyatno memberikan uraian mengenai feodalisme yang terjadi di Aceh. Unit terkecil dalam masyarakat Aceh disebut kawom, unit sosial ini terdiri dari beberapa keluarga berdasarkan garis keturunan laki-laki (patrilineal). Para anggota kawom memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin, yang disebut panglima kawom. Beberapa kelompok kawom membentuk gampong (semacam desa) yang dikepalai oleh seorang keuchik (bapak gampong) yang dijabat secara turun-temurun dan diangkat oleh uleebalang (kepala daerah uleebalang). Selain keuchik terdapat jabatan lain yang mengurus masalah keagamaan, perkawinan, perceraian, kematian dan sebagainya. Jabatan ini dipegang oleh seorang teungku, yaitu seorang yang ahli dalam hukum islam atau syari'at. Para ulama sering menggunakan gelar teungku sebagai petunjuk bahwa mereka memahami hukum Islam. Dengan demikian, keuchik disimbolkan sebagai ahli adat, sedangkan teungku disimbolkan sebagai ahli syari'at.

Beberapa gampong digabungkan ke dalam satu kesatuan yang dinamakan mukim, yaitu suatu daerah administratif yang dipimpin oleh seorang imeum mukim. Imeum mukim selain sebagai kepala administrasi juga memiliki kewajiban mengurus masalah-masalah keagamaan. Beberapa mukim digabungkan lagi menjadi daerah uleebalang. Jabatan uleebalang secara turun-temurun diangkat oleh Sultan Aceh. Para uleebalang termasuk lapisan sosial bangsawan. Mereka bergelar teuku. Beberapa daerah uleebalang digabungkan kedalam satuan daerah administratif yang dinamakan sagi. Setiap sagi dipimpin oleh seorang panglima sagi yang dipilih di antara para uleebalang yang memiliki pengaruh besar terhadap uleebalang lain yang kedudukannya lebih rendah. Para uleebalang mempunyai hak istimewa yang merupakan sumber penghasilan mereka, seperti, pajak pasar, pajak hasil penjualan padi, pajak pelayaran di sungai, dan sebagainya. Hal ini tergantung pada kekuasaan uleebalang itu sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, kaum uleebalang merupakan alat kolonial yang diikat dengan perjanjian korte verklaring. Perjanjian ini mengikat kaum uleebalang untuk mengakui kedaulatan Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di Aceh. Isi korte verklaring menyatakan bahwa semua pemberontak yang menentang Belanda juga (dianggap sebagai) musuh kaum uleebalang. Uleebalang diakui sebagai penguasa yang otonom (zelfbestuurder) di daerah masing-masing.

Sekarang muncul feodalisme dalam bentuk baru, bukan atas dasar hubungan darah (keturunan) atau gelar kebangsawanan, melainkan sikap dan tindakan yang tidak sesuai kondisi yang menginginkan prestasi kerja untuk mengisi pembangunan. Adapun sikap, perilaku dan tindakan tersebut meliputi :
1) Ingin selalu dihormati atau kadangkala disebut gila hormat. Yaitu sikap seseorang yang ingin dihormati, karena ia merasa telah berjasa terhadap kantornya, terhadap masyarakat, terhadap negara dll.;
2) Membatasi pergaulan, hanya mau bergaul dengan orang yang memiliki lapisan sosial sama atau yang lebih tinggi. Mereka yang berada pada lapisan sosial di bawahnya dianggap orang yang tidak memiliki sopan santun atau tatakrama;
3) Gelar pendidikan. Gelar kesarjanaan merupakan kebanggaan bagi yang meraihnya. Gelar sering dijadikan ukuran untuk menjadi orang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Akibatnya untuk mendapatkannya dilakukan berbagai cara walaupun menyalahi aturan-aturan akademik. Misal- nya dengan membeli gelar pada Perguruan Tinggi yang tidak jelas kedudukan- nya dan tidak terdaftar di Kopertis (Kordinator Perguruan Tinggi Swasta);
4) Berpakaian yang berlebihan. Memakai pakaian yang lebih (mahal, bagus, atau buatan luar negeri) dari orang-orang yang ada di sekitarnya, kadangkala pakaian tersebut tidak cocok dengan situasi dan kondisi tertentu;
5) Pamer kekayaan. Orang tertentu sering memakai perhiasan yang berlebihan walaupun bukan pada saat-saat yang tepat. Misalnya memakai perhiasan mahal ketika pergi ke pasar, atau berjalan-jalan ke perkampungan dengan pakaian yang sangat bagus dan kendaraan mewah. Kadangkala mereka juga menyom-bongkan diri dengan membicarakan hartanya pada orang yang tidak mampu ;
6) Penggunaan bahasa. Sebagian orang sering berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang dicampuradukan dengan bahasa asing. Akibatnya lawan bicara (orang lain) tidak memahaminya dan merasa malu menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, dianggapnya tidak modern;

7) Membatasi waktu yang tidak perlu. Yaitu tidak menerima tamu bukan pada waktunya, walaupun orang lain sangat memerlukan untuk bertemu dengannya. Misalnya, tidak menerima tamu di hari Sabtu dan Minggu, karena hari itu adalah hari istirahat. Padahal ia seorang dokter yang senantiasa harus siap menerima orang yang membutuhkan bantuannya;

8) Tidak menghargai orang lain. Karena merasa dirinya lebih hebat dari orang lain, maka apabila ada pendapat dari orang lain dianggapnya tidak berguna. Dianggapnya pendapat sendiri yang paling baik.

Sikap, perilaku, dan tindakan tersebut terdapat dalam setiap kehidupan. Kita perlu menanggapinya secara sadar, agar tidak menjadikan suatu kebanggaan.
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda membagi-bagi kehidupan masyarakat ke dalam beberapa lapisan. Tujuan agar bangsa Indonesia tidak sadar dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi satu kesatuan yang utuh.

Pembagian masyarakat tersebut, meliputi :

a) Orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok ini merupakan warga negara kelas satu. Mereka mendapat hak istimewa, dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah kolonial. Pada umumnya mereka menduduki jabatan-jabatan penting di setiap lembaga pemerintahan maupun swasta;
b) Golongan Indo-Eropa dan Timur asing : seperti Cina, India, atau Arab;
c) Golongan bumi putera, yang terdiri dari pegawai pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan rakyat sebagai petani, pedagang kecil, maupun sebagai pegawai rendahan.

Menurut Chandrakirana stratifikasi sosial yang dibuat pemerintah kolonial Hindia-Belanda, digunakan untuk:

a) menentukan atau menggariskan hak-hak istimewa (bobot politik dan ekonomi) berdasarkan ras dan identitas kesukuan di daerah jajahan;
b) memberikan nilai politik dan ekonomi kepada setiap kelas sosial sebagai identitas dengan menggariskan pembedaan hak dan kewajiban atas dasar yuridiksi dan politik yang terpisah.

Dengan stratifikasi tersebut Pemerintah Kolonial telah menciptakan kaitan langsung antara identitas etnik dan ras seseorang dengan hak-hak kedudukan sosial,politik, hukum, dan ekonomi. Hak tersebut berhubungan dengan keistimewaan dan kewajiban yang harus dijalankan oleh orang yang bersangkutan.

Adanya perbedaan stratifikasi sosial itu juga menyebabkan banyak orang Indonesia yang berpendidikan Belanda berusaha untuk mendapatkan pengakuan resmi sebagai orang yang disamakan dengan orang Eropa. Tetapi hal tersebut sangat sukar untuk dilaksanakan, karena Belanda tetap ingin sebagai bangsa yang berada di lapisan sosial paling atas. Dengan demikian orang bumiputra dapat bekerja tetapi tetap sebagai pegawai yang menduduki kelas sosial di bawah orang Belanda. Selain itu pimpinan tempat bekerja harus tetap dipegang oleh orang Belanda.

Stratifikasi sosial pada masa pendudukan Jepang mengalami perubahan, dengan urutan sebagai berikut:
a) Orang-orang Jepanglah yang menduduki lapisan paling atas;
b) Orang Indonesia berpendidikan yang mendukung Jepang;
c) Golongan Timur Asing;
d) Rakyat;
e) Orang Belanda dan Eropa.

Sistem kolonial di manapun juga ternyata banyak merugikan umat manusia. Hal ini sesuai dengan Alinea Pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,:

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

2) Pengaruh Industrialisasi Terhadap Pembentukan Stratifikasi Sosial

Besarnya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi, mengakibatkan setiap tahun sumberdaya manusia terus bertambah dan memerlukan lapangan kerja. Salah satu upaya untuk menyalurkan sumber daya manusia ialah melalui industri. Karena industri mampu menampung sumber daya manusia lebih banyak dibandingkan lapangan kerja yang lain.

Sumberdaya manusia menurut Simanjuntak memiliki dua pengertian, yaitu :
a) Sebagai usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Manusia yang bekerja di sektor industri akan ditempatkan di berbagai bidang produksi, sesuai dengan jumlah tenaga kerja manusia yang dibutuhkan;
b) Manusia yang mampu bekerja memberikan jasa atau usaha kerja. Tenaga kerja sebagai sumberdaya manusia yang terlibat di dalamnya (bekerja) memerlukan kemampuan, keterampilan, dan keuletan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.

Kedua pengertian tersebut mengandung (a) aspek kuantitas yaitu banyaknya penduduk yang mampu bekerja dan kemampuan industri menampung tenaga kerja; (b) aspek kualitas, yaitu jasa kerja yang tersedia dan diberikan untuk produksi. Adanya dua aspek sumberdaya manusia di dalam proses industri, akan muncul pembagian kerja bidang produksi, yang akhirnya menimbulkan stratifikasi sosial.

E. Industrialisasi

Berikut ini definisi industri sebagai berikut.

a) Renner : industri adalah segala aktifitas manusia di bidang ekonomi yang produktif. Setiap industri tidak selalu menggunakan alat-alat canggih, yang terpenting usaha manusia itu sendiri untuk mendapatkan penghasilan. Misalnya; kerajinan rakyat merupakan aktifitas manusia yang mengandalkan keterampilan, sedangkan pemasarannya dapat dilakukan di daerah pengrajin itu sendiri atau di daerah lain yang umumnya sebagai tempat wisata;
b) Ensiklopedi Indonesia : Industri adalah bagian dari proses yang secara tidak langsung mengambil atau mendapatkan barang atau bahan dari alam. Dengan demikian, akan tetapi mengerjakan bahan baku, secara mekanik maupun kimiawi menjadikannya lebih berharga untuk dipakai manusia.

Pembangunan Indonesia di bidang ekonomi tidak lepas dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan sebagai landasan untuk pembangunan berikutnya. Usaha tersebut dilaksanakan melalui industri. Perkembangan industri di Indonesia pada dasarnya dimulai dari pembangunan pertanian, yang didukung oleh sektor industri. Kemudian berkembang berbagai macam industri yang disesuaikan dengan tujuan pembangunan nasional.

Industri berhubungan dengan industrialisasi dengan beberapa rumusan atau definisi sebagai berikut :

a) Bintarto, menyatakan bahwa industrialisasi merupakan kegiatan ekonomis yang didasarkan pada mekanisme untuk memperoleh kemakmuran yang cepat dan merata yang dilaksanakan secara sistematis dan produktif.
b) Moh. Hatta, menyatakan industrialisasi adalah usaha untuk mengganti struktur agraris menjadi struktur industri.
c) Ensiklopedi Indonesia, industrialisasi adalah perkembangan dalam pembagian suatu tata masyarakat atas sektor primer, sekunder dan tersier; di mana prosentase sektor sekunder meningkat dan dibebankan pada sektor primer. Sektor primer meliputi pertanian dan perikanan; sektor sekunder merupakan kegiatan industri, sedangkan sektor tersier meliputi perdagangan, jasa, dan pengangkutan.

Dengan demikian, industrialisasi merupakan suatu perubahan dalam menghasilkan barang dan jasa ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Untuk meningkatkannya perlu diusahakan: pertama peluang kesempatan kerja bagi penduduk yang berkembang; kedua, taraf hidup masyarakat dengan meningkatkan penghasilan perkapita; dan ketiga meningkatkan neraca perdagangan.

Industrialisasi tidak hanya mengganti alat industri lama dengan alat baru, atau memperluas areal dan meningkatkan kuantitas industri. Melainkan juga mencakup proses kemajuan teknologi yang tergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan. Begitu pula kemajuan ilmu pengetahuan tergantung pada penelitian ilmiah.

Menurut Joesoep, aspek kerja teknologi dalam industrialisasi, meliputi:
a) Perencanaan, peralatan, permesinan, dan semua pengetahuan yang kita perlukan untuk menghasilkan suatu barang;
b) Pengetahuan yang diperlukan untuk merawat, mengelola dan mendistribusikan barang-barang tersebut;
c) Semua informasi dan desain dalam menghasilkan barang.

Dengan demikian, proses industrialisasi dikatakan berhasil jika manusia bisa mengubah aspek fisik (teknologi) menjadi sarana bagi peningkatan kualitas dan kuantitas hidup manusia. 
Itulah penjelasan tentang Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal semoga bermanfaat.

Selanjutnya : Stratifikasi Masyarakat Industri

Stratifikasi Sosial Masyarakat Feodal Rating: 4.5 Diposkan Oleh: khadhika

1 komentar:

BERLANGGANAN GRATIS

Silahkan masukan e-mail anda untuk mendapatkan kiriman materi pelajaran terbaru dari biasamembaca.blogspot.com gratis langsung ke e-mail anda

Dikirim oleh biasamembaca.com